Walaupun saya bukan pendukung asli Partai Demokrat, tapi beberapa ucapan pimpinan PD belakangan ini rasanya bisa diterima baik oleh akal sehat. Memang kita harus terima pendapat yang bagus, dari manapun datangnya. “Partai Demokrat menghendaki figur yang mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai cawapres nanti, meskipun dari Partai Golkar, namun bukan Ketua Umum (Ketum) DPP Partai Golkar. Hal ini dimaksudkan agar presiden dan wapres mendatang bisa lebih fokus mengurus pemerintahan, tidak terpecah konsentrasinya dengan urusan parpol.” Ucapan itu keluar dari seorang anggota Tim Sembilan Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, kepada SP di Jakarta, Kamis (16/4).
Tim Sembilan merupakan tim yang dibentuk untuk menyiapkan dan mengkoordinasi strategi Partai Demokrat menyongsong pilpres 8 Juli nanti. Tim itu pula yang ditugasi memberi penilaian terhadap parpol yang diajak berkoalisi serta kandidat cawapres, meskipun keputusan akhir ada di tangan SBY. Disinggung apakah kriteria yang sama juga diterapkan untuk menteri di kabinet SBY kelak, dia mengatakan, kemungkinan ketua umum parpol menjadi menteri masih terbuka. "Tetapi sebaiknya ketua umum parpol juga jangan menjadi menteri," ujarnya.
Ucapan ini mendekati pandangan orang biasa mengenai kekompakan suatu tim pimpinan, dalam hal ini pemerintah. Janganlah Presiden dan Wakil Presiden mempunyai kebijaksanaan sendiri-sendiri yang tidak sama, sebab itu sama dengan kapal mempunyai dua kapten. Bisa macet jalannya atau bisa zigzag belok setiap ada perbedaan pendapat Presiden dan Wakil Presiden.
Hal ini tidak berarti bahwa pemerintah tidak boleh dibuat dengan azas koalisi. Tentu saja boleh, tapi koalisi itu dalam menjalankan kebijaksanaan, bukan dalam membuat kebijaksanaan. Yang membuat kebijaksanaan pemerintah haruslah Presiden, yang lain membantu. Untuk mengumpulkan pendapat lain mengenai jalannya pemerintah, tempatnya adalah DPR, Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, koalisi dan oposisi di DPR adalah hal yang mutlak perlu, di Kabinet perlu koalisi tapi bukan oposisi, di Kepresidenan tidak boleh ada oposisi dan Wakil Presiden jangan dipilih dengan maksud koalisi. Demokrasi kita berkembang lagi dengan ucapan Partai Golkar yang menilai, keinginan Partai Demokrat agar cawapres bagi SBY bukan ketua umum parpol, adalah sah. "Itu hak Partai Demokrat," katanya.
Dia menjelaskan, berdasarkan hasil survei internal, Golkar memiliki tujuh nama yang dinominasikan menjadi capres atau cawapres. "Berdasarkan realitas politik, Golkar paling mungkin maju di posisi cawapres saja," ujarnya. Salah seorang Ketua DPP Partai Golkar menyatakan realistis, bahwa perolehan suara Golkar tidak sesuai target, sehingga sulit mencalonkan capres sendiri. Tapi barangkali yang paling signifikan dari diskursus ini… eh kok jadi pakai bahasa tinggi?
Maksudnya, yang asyik dari pembicaraan ini, adalah bahwa Orang Biasa ikut mendengarkan jalannya perundingan. Sampai beberapa tahun yang lalu, pembicaraan mengenai pengisian jabatan tinggi hanya bisa diikuti kalau kita punya akses khusus. Sama juga seperti kompetisi Inggris, Italia, Spanyol, Jerman, Belanda, Indonesia, bisa kita ikuti di televisi, sedangkan dulu kita harus pergi ke stadion, suatu hal yang tidak mungkin kalau stadion itu ada di Valencia, Spanyol. Kalau mau meneruskan metaphor sepakbola, beda politik dengan sepakbola adalah bahwa kita bisa mempengaruhi pasangan pemain, sedangkan kalau Rafael Benitez turunkan pasangan Liverpool, penonton hanya bisa mengomel kalau tidak setuju.
Masih banyak orang yang mengomel tentang perkembangan politik, seakan-akan politik adalah pertandingan dimana kita jadi penonton. Kalau tidak suka, bsia meninggalkan stadion. Kenyataannya politik bukan permainan, tapi kita bisa dipermainkan olehnya kalau kita hanya mengomel dan melihat bola seliweran kesana kemari. Pernah seorang anak kecil main bola di rumah, dan dia hanya diam saja melihat bola jalan kesana kemari. Akhirnya dia bertanya: “Apakah saya boleh tendang bola itu?”
Ya, mari kita tendang bola ramai-ramai. Capres sudah ketahuan. Salah satunya adalah SBY. Jelas pula JK tidak akan jadi Wapres, karena Partai Golkar tidak mau. Kita cari calon wakil Presiden untuk SBY, biar orang lain cari Cawapres untuk Megawati, Prabowo dan lainnya. Belajar dari kesalahan masa lalu, jangan pilih JK atau sejenis, karena lebih merepotkan dan melemahkan posisi Presiden daripada membantu. Pengakuan tidak efektifnya kerjasama datang dari JK sendiri, yang tanpa ada hujan atau angin serta merta mengundurkan diri dari pasangannya dengan SBY untuk mencalonkan dirinya sendiri. Tentunya itu tidak akan terjadi andaikata kerjasama mereka memenuhi harapan kedua belah pihak.
Posisi SBY sekarang sangat kuat, bahkan bukan mustahil Partai Demokrat bisa mencapai batas 20% kursi DPR atau 25% suara pemilih yang memungkinkannya mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden tanpa bergabung dengan partai lain. Koalisi akan tetap diperlukan, tapi bukan antara Presiden dan Wakil Presiden. Calon Presiden sebaiknya memilih Calon Wakil Presiden yang bisa memperkuat, mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan kebijaksanaannya. Dengan demikian lebih ada jaminan citra SBY yang pluralis dan bersih bisa dijadikan kenyataan, bukan hanya angan-angan.
Dengan seorang Cawapres dari luar kalangan partai, bisa dipilih orang yang mempunyai kompetensi profesional dan track record sebagai pendukung pluralisme dan pemerintahan bersih.
(Wimar Witoelar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar